Oleh: Muhammad Azril
Dalam Islam, zakat merupakan salah satu
fondasi (rukun) agama. Tepatnya rukun ketiga setelah membaca dua kalimat
syahadat dan melaksanakan shalat. Dalam al-Qur’an, Allah swt berfirman,
وَأَقِيمُواْ الصَّلَوَاةَ وَءَاتُواْ الزَّكَوَاةَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya, “Dan dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS.
An-Nur [24]: 56).[1]
Kewajiban ini juga Ditegaskan oleh baginda
Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadits:
شرح صحيح مسلم
بن الحجاج أبو زكريا محيي الدين يحيى بن شرف النووي (ت ٦٧٦هـ) خ ١ ص ١٧٧
بُنِيَ
الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شهادة أن لا إله إلا الله وأن مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ
وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Artinya: “Islam dibangun atas lima pilar;
syahadat bahwa tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan
bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
haji, dan puasa di bulan Ramadhan.”[2]
Zakat fitrah dengan menggunakan uang menurut ulama mazhab.
Imam Hanafi
Jika seseorang telah
mengeluarkan uang sejumlah harga gandum maka sudah mencukupi karna pembayaran
zakat dengan menggunakan uang lebih efektif untuk memberikan kemanfaatan kepada
faqir.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Hanafi
dalam kitab Al-mabsuth:
(
قَالَ ) : فَإِنْ أَعْطَى قِيمَةَ الْحِنْطَةِ جَازَ عِنْدَنَا ; لَِنَّ
الْمُعْتَبَرَ حُصُولُ الْغِنَى وَذَلِكَ يَحْصُلُ
بِالْقِيمَةِكَمَا
يَحْصُلُ بِالْحِنْطَةِ المنهاج
Artinya: “Andaikan seseorang (dalam menunaikan zakat fitrahnya) dengan menyerahkan uang senilai harga gandum, maka hukumnya boleh menurut kami karena sungguh yang menjadi pertimbangan adalah terciptanya kehidupan yang layak. (Tujuan) tersebut dapat terwujud dengan penyaluran uang sebagaimana juga dapat terwujud dengan menyerahkan gandum”.[3]
Pada kitab yang sama , Syekh Abu Ja’far RA
menyatakan:
وَكَانَ
الْفَقِيهُ أَبُو جَعْفَرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ : أَدَاءُ
الْقِيمَةِ أَفْضَلُ ; لَِنَّهُ أَقْرَبُ إلَى مَنْفَعَةِ
الْفَقِيرِ
فَإِنَّهُ يَشْتَرِي بِهِ لِلْحَالِمَا يَحْتَاجُ إلَيْه
Artinya: “Pembayaran zakat fitrah dengan uang
adalah pembayaran yang paling baik karena uang paling efektif untuk memberi
manfaat kepada faqir. Pasalnya, uang Dapat dipakai untuk membeli berbagai
barang yang dibutuhkannya”.[4]
2 Mazhab Maliki
Seorang ulama dari mazhab Maliki bernama Syekh Ibnu Qasim Memperbolehkan pembayaran zakat fitrah dengan uang. Di dalam mazhab Maliki, timbangan sha’nya memiliki bobot yang sama dengan mazhab Syafi’i. Dengan demikian, masyarakat boleh membayar zakat fitrah dengan uang Seharga beras 2,5 kg atau 2,7 kg. sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab al-Taj wa al-Iklil li Mukhtasar Khalil:
وَمِنْ الْمُدَوَّنَةِ قَالَ مَالِكٌ : لاَ يُجْزِئُهُ أَنْ يَدْفَعَ فِي الْفِطْرَةِ ثَمَنًا . وَرَوَى عِيسَى عَنْ ابْنِ الْقَاسِمِ : فَإِنْ فَعَلَ أَجْزَأَهُ
Artinya: “Di dalam kitab al-Mudawwanah,
Imam Malik berkata: ‘Tidaklah cukup bagi seseorang yang membayar zakat
fitrahnya dalam bentuk uang.’ Syekh Isa meriwayatkan dari imam Ibnu Qasim yang
berkata: ‘Jika seseorang membayar zakat fitrah dengan uang, maka hal itu sudah
dianggap cukup (sah).[5]
3 Iman
Syafi’i
Dalam mazhab syafi’i mutlak tidak memperbolehkanya namun ia diperbolehkan untuk berpindah ke mazhab yang memperbolehkan mengeluarkan zakat selain yang telah ditentukan. Sebagaimana Dalam kitab Tarsyih al-Mustafidin:
فَائِدَةٌ: لاَ يَجُوزُ فِى مَذْهَبِ الاِْمَامِ الشَّافِعِيّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى إِخْرَاجُ الْعَرْضِ عَنِ الْقِيمَةِ فَمَنْ أَرَادَ إِخْرَاجَهُ عَنْهَا قَلَّدَ غَيْرَهُ مِمَنْ يَرَى الجَوَازَ كَمَا أَفْتَى ابْنُ حَجَرٍ وَغَيْرُهُ بِجَوازِ التَّقْلِيدِ فِى ذَلِكَ
Artinya: “Di dalam mazhab Imam As-Syafi’i RA tidak diperbolehkan membayar zakat dengan barang lain atas nama harga barter (dari benda yang ditentukan dalam teknik pembayaran zakat). Siapa saja yang ingin menunaikan zakat dengan cara yang tidak dibenarkan dalam pandangan mazhab Syafi’i RA ini dipersilakan untuk bertaqlid kepada ulama dari mazhab lain yang membolehkannya sebagaimana yang difatwakan oleh Syekh Ibnu Hajar dan imam lainnya tentang kebolehan bertaqlid dalam persoalan tersebut.”[6]
Di Indonesia sumber pangan utama adalah beras.
Bila kita mengikuti pendapat mainstream tersebut, maka kewajiban zakat fitrah
dibayar dengan beras yang merupakan bagian dari bahan makanan (min tho'amin).
Hal ini sesuai dengan hadits berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَال:َ كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِوَسَلَّمَ
يَوْمَ الْفِطْرِصَاعًا مِنْ طَعَام.ٍ وَقَالَ
أَبُو سَعِيد:ٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُوَالزَّبِيبُوَالَْقِطُوَالتَّمْر.ُ(روى
البخاري).
Artinya: “Dari Abu Said al-Khudri RA berkata: Dulu pada zaman Rasulullah SAW kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan. Dan Abu Said menyampaikan bahwa bahan makanan kami (pada saat itu) adalah gandum, anggur, keju, dan kurma.” (HR. al-Bukhari).[7]
Dinamika di masyarakat sering kali terjadi
kesulitan teknis pembayaran zakat fitrah dengan beras, baik karena masyarakat
tidak lagi selalu menempatkan beras sebagai satu-satunya kebutuhan utama
penopang hidup layak ataupun karena masyarakat merasa lebih mudah membayarnya
dengan uang. Masalah ini sering menjadi pertanyanan masyarakat, terutama soal
keabsahan zakat fitrahnya tersebut. Oleh karena itu ada beberapa solusi sebagai
jalan keluarnya:
1. Edukasi dari
tokoh terkait ketentuan zakat pakai uang.
Zakat fitrah harus
dikeluarkan dengan menggunakan beras sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
madzhab Syafi’i namun jika ia ingin mengeluarkan zakat menggunakan uang bisa
pindah kepada mazhab Hanafi ataupun Maliki yang membolehkannya.
2.
Uang yang
dikeluarkan oleh masyarakat kepada panitia zakat, itu dibelikan beras dulu oleh
panitia, baru dibagi-bagikan kepada penerima zakat.
[1] QS. An-Nur (24:56).
[2] An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, vol. 1 (676 hijriah), hal. 177.
[3] As-Sarakhshi, Al-Mabsuth, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1421 H/2004 M,
vol. 3, hal. 99.
[4] As-Sarakhshi, Al-Mabsuth, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1421 H/2004 M,
vol. 3, hal. 99-100.
[5] Muhammad al-‘Abdari, al-Taj wa al-Iklil li Mukhtashar Khalil,
Bairut-Dar al-Fikr, 1398 H, vol. 2, hal. 366.
[6] As-sayyid al-alawi as-saqqaf, Tarsyih al-Mustafidin, Mesir-Dar Ihya`
al-Kutub al-‘Arabiyyah, hal. 154.
[7] Ibnu Mulaqqin, At-taudih li syarhi al-jami’ as- shahih, Muhaqqiq:
Darul Falah Lil bahtsi al-Ilmi wa tahqiq al-turots, vol. 10, (Qatar: Idarotus
Su’unul Islamiyyah), hal. 646.
Posting Komentar untuk "Kontroversi Pembayaran Zakat Fitrah dengan Uang"